News in Picture

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Wednesday, June 5, 2013

Terima Hibah Pesawat Afkir, Pemerintah Menyalahi Renstra TNI AU




SESUAI rencana strategis yang disepakati Komisi I, TNI Angkatan Udara mestinya belanja enam unit pesawat F-16 keluaran baru. Bukan menerima hibah 24 unit pesawat afkir yang biaya perawatannya lebih mahal.
Ke depan pemerintah dan DPR harus duduk bersama untuk membuat definisi yang benar tentang hibah.



Pernyataan juru bicara TNI Angkatan Udara, Kolonel Bambang Supriadi, yang memperingatkan pemerintah agar berhati-hati menerima tawaran hibah dari negara lain harus direspons serius. Senada Bambang Supriadi, DPR juga mencurigai ada motif tertentu di balik tawaran hibah alutsista dari negara lain.


Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin, Selasa (4/6), mengatakan, sejak awal pihaknya mengkritisi keputusan pemerintah menerima hibah pesawat F-16 bekas dari Amerika Serikat. Sebab, 24 unit pesawat yang dihibahkan itu sudah teronggok di gurun Arizona. Pemerintah pun harus membayar lebih dari 700 juta dollar AS untuk membawa dan memperbaikinya.



Sesuai rencana strategis yang disepakati Komisi I, TNI AU mestinya membeli 6 unit pesawat F-16 Blok 52 keluaran terkini seharga 600 juta dollar AS. Namun, entah kenapa pemerintah tiba-tiba berbelok arah dan mengeluarkan dana lebih besar demi menerima pesawat yang sudah afkir. Akibatnya, jumlah pesawat tempur bertambah tapi tidak memberikan tambahan daya tangkal udara Indonesia.



Menurut Hasanuddin, pemerintahan SBY kini mengulang kesalahan rezim Orde Baru pada 1991 ketika menerima puluhan kapal bekas dari Jerman Timur untuk TNI Angkatan Laut. Saat itu pemerintah juga mengeluarkan anggaran besar, bahkan kini menanggung beban pemeliharaan karena kapalnya sudah kurang layak pakai.



"Ke depan pemerintah dan DPR harus duduk bersama untuk membuat definisi yang benar tentang hibah. Supaya hibah itu benar-benar murni tanpa motif politik negara lain yang sifatnya mengikat, apalagi hanya menguntungkan calo," ujarnya.

Sumber: Jurnal Parlemen

No comments: