News in Picture

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Saturday, April 20, 2013

Iran Peringkat Lima Negara Dunia Pemilik Teknologi Drone



Drone Iran
Drone Iran

Deputi Menteri Pertahanan Iran dalam sebuah pernyataan mengatakan Iran berada di antara lima negara teratas dunia yang mempunyai teknologi drone.

Mohammad Eslami  juga mengatakan  di Tehran bahwa iran juga di antara sepuluh negara besar dunia bidang sektor militer.

Pejabat Kementerian Pertahanan Iran itu menambahkan, Republik Islam saat ini sedang merancang dan memproduksi sekitar 20 kendaraan udara tak berawak yang mengutamakan jangkauan dan ketinggian penerbangan. Drone jarak jauh menurut Eslami sangat strategis.

Eslami juga menunjukan pengalaman Iran dalam manufaktur drone jarak pendek dan menyebut negara sedang memproduksi massal UAV dengan jangkauan 200 kilometer.

Menurutnya, drone terbaru jarak jauh strategis itu segera diresmikan pada 24 Mei nanti.

Sebelumnya, Iran meluncurkan drone pertama pribumi jarak jauh yang diberi nama Karrar pada bulan Agustus 2010. Pesawat ini mampu membawa roket militer untuk melaksanakan misi pemboman yang menargetkan sasaran-sasaran darat, dan mampu terbang jarak jauh dengan kecepatan tinggi, serta mengumpulkan informasi.

Pada bulan September 2012, negara ini juga meluncurkan UAV baru buatan dalam negeri yang diberi nama Shahed 129, dengan kemampuan penerbangan 24 jam nonstop.

Pada hari Jumat, 08/02/13, Iran untuk pertama kalinya merilis photo dari lini produksi sebuah pesawat udara tak berawak pribumi yang merupakan salinan dari pesawat tak berawak AS, ScanEagle. [Islam Times/on]
http://www.islamtimes.org/images/docs/files/000238/nf00238136-2.jpg

http://www.islamtimes.org/images/docs/files/000238/nf00238136-1.jpg
»»  READMORE...

IBM PureSystems: Solusi yang Terintegrasi




Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kalimat “membangun data center”? Anda pasti akan membayangkan proses panjang dan berliku yang membutuhkan kerja keras dan pengorbanan.

Pandangan itu tidak salah karena selama ini, proses membangun data centermemang tidak mudah.
Pertama-tama Anda harus berhati-hati memilih tiap blok—mulai dari serverstorage, sampai networking. Kehati-hatian sangat penting di proses ini, karena Anda harus memastikan tiap blok dapat dirangkai dan bekerja dengan baik.
Setelah itu, Anda membangun layer aplikasi di atasnya, sambil lagi-lagi memastikan tiap blok dari data center yang Anda bangun tidak menemui masalah. Namun masalah bisa saja timbul, dan memaksa Anda untuk mendeteksi sumber masalah dan terkadang harus membongkar sistem yang telah Anda bangun.
Dan tiap kesalahan—sekecil apapun—mengakibatkan mundurnya waktu implementasi dan membengkaknya anggaran.
Jika kita kaji, kerumitan proses di atas sebenarnya bisa dihindari. Seharusnya ada sebuah solusi yang membuat proses pembangunan data center menjadi mudah dan cepat. Proses pembangunan data center yang biasanya memakan waktu bulanan, bisa diwujudkan dalam hitungan hari.
Dan jika itu terjadi, keuntungan tidak cuma soal waktu. Fokus personil tim TI tidak lagi soal membangun infrastruktur, namun bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memajukan perusahaan.
Mengedepankan Efisiensi
Menjawab kebutuhan tersebut, IBM menawarkan solusi yang disebut PureSystems. Pada dasarnya, PureSystems adalah sistem terintegrasi yang siap pakai. Pengguna tidak lagi perlu terlibat dengan pembangunan sistem yang rumit, menguras tenaga, serta memboroskan waktu dan biaya. Pengguna tinggal menentukan seberapa besar data center yang mereka butuhkan, dan IBM langsung menyediakan PureSystems yang mereka butuhkan. Alhasil, pembangunandata center yang biasanya membutuhkan waktu dua bulan, bisa dipangkas menjadi hanya dua minggu.
Menurut Gunawan Sutanto (Country Manager, Systems & Technology Group IBM Indonesia),IBM PureSystems sendiri terdiri dari tiga produk, yaitu PureFlex System, PureData System, dan PureApplication System. PureFlex System mengombinasikan blok server, storagenetworking, dan virtualisasi di bawah sebuah management console. Sedangkan PureData dan PureApplication dibangun di atas PureFlex dengan fokus pada data dan aplikasi.
Bagi IBM, tujuan terbesar PureSystems memang memudahkan pengguna. Karena itu, PureSystems dirancang agar dapat dipakai sebagai sistem yang berdiri sendiri atau digabungkan dengan sistem yang sudah ada. Sebagai gambaran, satu modul terkecil PureFlex System dapat dipasangi sebuah software ERP dengan 1000 pengguna. Ketika kebutuhan meningkat, pengguna tinggal menambahkan modul yang dibutuhkan.
Menariknya, semua proses manajemen dilakukan dalam satu management console. Alhasil hanya dibutuhkan satu administrator untuk seluruh sistem, yang terasa efisien dibanding sistem konvensional yang membutuhkan administrator untuk masing-masing blok (baik ituserverstoragenetwork, atau database). Sistem manajemen itu sendiri bisa dilakukan secararemote, bahkan bisa dengan menggunakan iPhone atau iPad. Artinya, administrator PureSystems bisa melakukan maintenance di manapun ia berada.
PureFlex memang bukan satu-satunya integrated system yang ada saat ini. Namun menurut Deddy Sudja (Director Blue Power Technology yang merupakan distributor tunggal PureSystems di Indonesia), keunggulan PureFlex adalah pada keterbukaannya. “Pengguna dapat memilih arsitektur x86 atau PowerSystems, maupun sistem operasi Windows dan Linux,” ungkap Deddy. Begitu pula dengan database dan aplikasinya,  mereka dapat memilih dari vendor yang mereka sukai atau yang telah mereka gunakan sebelumnya. Bahkan pada satu modul sistem PureFlex dapat dijalankan secara bersamaan beberapa sistem operasi yang berbeda.
Kelebihan lainnya adalah pada sejak awal, PureFlex dirancang untuk mendukung virtualisasi. “Contohnya jalur antara server dan storage dirancang dengan bandwidth besar yang sangat dibutuhkan untuk virtualisasi,” ungkap Erwin Urip, Manager Technical Support BPT. Tidak heran jika PureFlex sering disebut sebagai cloud in the box.
Pendek kata, kata kunci IBM PureSystems adalah kemudahan, kepraktisan, kecepatan, dan biaya yang lebih rendah. 
»»  READMORE...

Small Diameter Bomb – GBU-39


The GBU-39 Small Diameter Bomb – the future of ultra-surgical air strikes.
Since the days of the first Gulf War, when it became clear to the world that precision air strikes would be the “go to” option for the opening rounds of nearly any theater scale military operations, the technology of precision guided munitions has increased rapidly.  We have witnessed bombs being guided into their targets by lasers, GPS, and even a human watching through a camera on the nose of the weapon.  Once the concept of precision guidance was no longer a novelty, the virtuous auspices of limiting collateral damage and economic efficiency have led military planners and weapons designers to push the envelope of precision weapon technology even further.
During the Desert Storm era, the smallest precision bombs available packed 500 lb high-explosive warheads, and the 500 pounder was typically used on only the smallest of targets.  They certainly were precise enough on surgical targeting, but the massive explosion and pressure wave still causes widespread devastation to buildings and well, people, that are in the vicinity of the blast.  Now I’m not saying that it’s ever goign to be possible to truly eliminate collateral damage, but I believe technology has reached a stopping point concerning precision-guided air-launched munitions.  It’s not as if limiting collateral damage is such a bad thing after all; so I guess we can go ahead and bestow the honorable hallmark characteristic of the next wave of precision munitions:  Efficiency…because accuracy is a given.
Fresh on the block is the new GBU-39 Small Diameter Bomb.  The GBU-39 is the first 250 lb class precision guided munition, and is not only intended to allow the pilot to strike more targets per sortie, but also to -you guessed it- limit collateral damage.  A full rack of GBU-39s, 4 bombs total, can easily take the place of one 2000 lb GBU 109 “bunker buster” guided bomb on typical strike platforms such as the F-15C or F-22 Raptor aircraft.  While the 2000 lb GBU-109 penetrator definitely retains its place as a select weapon of choice for large and hardended targets, the GBU-39 SDB surpasses the GBU-109 in many different realms of performance.  For starters, the GBU-39 also has significant stand-off capabilities.  With it’s guidance wings, the bomb can coast into targets from far greater ranges than the GBU-109, from more than 40 nautical miles out.  Likewise, the design of the warhead also allows the Small Diameter Bomb to achieve the same penetration capabilities of it’s much larger 2000 lb counterpart.  All in all, the SMB GBU-39 allows for a great amount of flexibility for whomever is designing strike missions for an urban environment.

Not only does the GBU-39 Small Diameter Bomb limit it’s size to only 250 lbs, it also can be fitted with different types of warheads, one of which is specially designed to limit the blast radius and shockwave of the explosion.  This new explosive is called D.I.M.E., short for Dense Inert Metal Explosive.  DIME explosives basically combine a powder of inert metals–inert means that the metal is resistant to chemical reactions–into the explosive, which essentially weighs down the blast.  The explosive ignites, but the metal powder will only fly so far before air resistance and gravity will slow it down.  DIME explosives are proven to limit the blast radius of explosions, but they are also notorious for the effects that they can have on personnel.  Decapitations, dismemberments, and even cancer later down the line caused by the imbedded metal powder are all facts of life when DIME is deployed.  i guess the counter-point is that those folks were at the wrong place at the wrong time, especially under the known threat of air raids.
Fast forward to Israel’s Operation Cast Lead against the Hamas regime in Gaza, and you’ve got the exact scenario where this weapon is intended to be used.  A crowded urban environment, where military targets are amorphous among the civilian landscape, and limiting collateral damage is essential to maintaining some semblance of self-restraint, saw small diameter bombs being deployed in large numbers.  Indeed, reports have come out of Gaza of people suffering the effects of DIME explosives, but the IDF remains deflective about admitting to their use.  The use of the GBU-39 that isn’t debated is the penetrator version being deployed against the smuggling tunnels at the Rafah crossing.  The IDF deployed multiple GBU-39 penetetrators along the lengths of the tunnels, essentially burying them in successive sections.
»»  READMORE...

SPACEX UJI ROKET "BELALANG" TERBARU



http://astronesia.blogspot.com/
Grasshopper

Astronesia-Perusahaan penerbangan antariksa asal California, SpaceX, telah melakukan pengujian roket reusable (dapat digunakan kembali) miliknya. Roket anyar bernama Grasshopper (Belalang) ini mampu meluncur secara vertikal ke langit dan kembali mendarat ke posisinya semula.

Dilansir Telegraph, perusahaan swasta yang bergelut di bidang antariksa ini menguji armada terbarunya. Purwarupa roket tersebut dijajal di fasilitas pengembangan roket mereka di McGregor, Texas, Amerika Serikat pekan lalu.

Grasshopper dengan tinggi 130 kaki (40 meter), ditenagai oleh roket Falcon 9 dan mesin Merlin 1D. Roket ini mampu melayang di udara beberapa saat sebelum mendarat dengan aman di landasan peluncuran.

Roket ini menggunakan kontrol katup gas serta daya dorong vektor loop tertutup. Upaya pengujian ini merupakan lompatan terbesar untuk Grasshopper ketimbang dua pengujian terbang sebelumnya.

Di pengujian sebelumnya, sebelum mendarat, roket mampu melayang di ketinggian enam kaki dan 17 kaki dari tanah. SpaceX mengembangkan generasi baru dari roket yang mampu digunakan kembali, yang juga memiliki kemampuan meluncur, terbang dan mendarat.

Roket jenis reusable ini diklaim lebih hemat dan memangkas biaya pengeluaran untuk perjalanan luar angkasa komersial. Pengujian berikutnya direncanakan sekira pertengahan tahun baru 2013.
»»  READMORE...

C-295 AEW&C, Pesawat Radar Peringatan Dini Yang Ditawarkan Untuk TNI-AU


C-295 AEW&C

Airbus Military telah melakukan uji penerbangan salah satu prototipe pesawat C-295 di landasan terbang milik perusahaan dirgantara yang berpusat di Seville, Spanyol itu. Pesawat yang sedang menjalani uji penerbangan tersebut agak berbeda dengan C-295 lainnya sebab pada bagian ujung sayap utama berbentuk membengkok keatas seperti sirip ikan hiu dan dikenal dengan sebutan "winglet". 

Penggunaan winglet pada struktur sayap pesawat bertujuan untuk mentiadakan efek turbulensi yang dapat mengurangi gaya angkat sayap pesawat. Dengan meminimalisir efek turbulensi yang biasanya terjadi pada bagian ujung sayap, daya terbang pada pesawat bisa lebih efektif sehingga pesawat bisa lebih menghemat pemakaian bahan bakar serta mampu terbang lebih jauh dan lebih lama. 

C-295 yang menggunakan winglet tersebut adalah sebuah pesawat yang dirancang untuk membawa kubah radar seperti tampak pada foto diatas. Varian ini dikenal dengan nama C-295 AEW&C (Airborne Early Warning and Control). Dengan peningkatan performa terbang karena penggunaan winglet ini, pihak Airbus Military berharap Indonesia akan memilih C-295 AEW&C untuk memenuhi kebutuhan TNI-AU akan pesawat radar peringatan dini. TNI-AU dikabarkan telah merencanakan untuk memiliki 3 unit pesawat jenis ini. Bahkan untuk mempromosikan pesawat varian ini kepada Indonesia, situs defense-update.com menyebutkan bahwa Airbus Military telah mengecat badan prototipe pesawat C-295 AEW&C dengan warna seperti yang digunakan pada armada pesawat TNI-AU. 

Sebelum menggunakan winglet, C-295 AEW&C sudah melakukan uji penerbangan pada bulan Februari 2012 lalu. Hasil uji terbang dinyatakan sukses dan pesawat mampu terbang selama 8 jam non-stop dengan ketinggian terbang hingga 24.000 kaki (7.315 meter). Dengan digunakannya winglet pada struktur sayap, diharapkan C-295 AEW&C mampu terbang lebih lama dan lebih jauh dari sebelumnya. Menurut informasi, sayap winglet akan digunakan juga pada produksi pesawat C-295 selanjutnya.

Pengembangan pesawat C-295 AEW&C merupakan hasil kerjasama Airbus Military dengan Israel Aerospace Industries (IAI). Kesepakatan kerjasama tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada awal tahun 2011. Dalam kerjasama ini pihak IAI bertindak sebagai penyedia perangkat dan sistem radar untuk pesawat C-295 AEW&C. 

C 295 ini dilengkapi perangkat "integrated tactical system mission" milik IAI/ Elta sebagai penyedia "active electronically scanned array radar", serta piranti pendukung lainnya selain dilengkapi juga dengan modul anti-surface/anti-submarine warfare.

Pesawat AEW&C atau AWACS berfungsi sebagai BVR Missile Guidance, Electronic Warfare (EW) dan Reconnaissance. Ia menjadi mata dan backbone informasi bagi armada tempur sebuah negara. 
»»  READMORE...

Sony Hadirkan Internet Cepat


alt
Bicara soal internet cepat, negara Jepang, Taiwan dan Korea termasuk ke dalam pemain kuat. Malaysia bahkan saat ini sudah mampu melakukan penetrasi internet ke seluruh daerah hingga 15Mbps dengan menggunakan media fiber optik ke rumah-rumah. Hasilnya, para pengguna rumahan mampu menikmati IPTV yang disertai dengan paket telepon sekaligus internet jalur lebar yang sangat cepat.



Perusahaan Sony asal Jepang ternyata memiliki penyedia jasa internet sendiri yang disebut-sebut bernama So-Net Entertainment. Para pengguna internet rumahan di sana pun dapat menikmati internet dengan kecepatan unduh (download) sebesar 2 Gbps dan unggah (upload) sebesar 1 Gbps. Teknologi ini disebut-sebut bernama Nuro ini merupakan jalur internet tercepat yang ada di negara matahari terbit tersebut, pun mengusung kecepatan dua kali lebih cepat dibandingkan akses internet  di Jepang pada umumnya.



Akses internet ini dapat dinikmati oleh penduduk perumahan ataupun apartemen dengan ketinggian tidak lebih dari dua tingkat. Koneksi ultra kencang yang disebut Nuro ini menurut rencana akan dibanderol dengan kisaran harga US$53 per bulan dengan masa kontrak dua tahun. Untuk instalasi akan dikenakan biaya sebesar 52.500 Yen ataupun US$535.

»»  READMORE...

Unit CMOV (Central Monitoring and Observation Vehicle) TNI-AU




CMOV (Central Monitoring and Observation Vehicle)
CMOV (Central Monitoring and Observation Vehicle) merupakan jenissoft alutsista yang sangat vital pada pelaksanaan operasional pertahanan udara (Hanud) yang membutuhkan mobilitas tinggi. Meskipun sebagian besar komponen CMOV didatangkan dari luar negeri, tapi karoseri dan assembly dikerjakan oleh teknisi Indonesia. PROKIMAL ONLINE Kotabumi Lampung Utara | Unit CMOV (Central Monitoring and Observation Vehicle) TNI-AU.
Central Monitoring and Observation Vehicle (CMOV) adalah miniatur dari ruang Popunas (Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional) yang besarnya hampir sepertiga lapangan sepak bola. Meskipun diperkecil hingga sebesar truk kecil ini, hampir seluruh kemampuan pokok di ruang Popunas berhasil diboyong ke dalam mobil ini. Tapi karena miniatur, kemampuan dan fasilitas yang tersedia tidak selengkap seperti pada ruang Popunas yang sebenarnya. Meskipun demikian, CMOV tetap memiliki keunggulan lain karena bisa dengan mudah dipindahkan atau dibawa ke lokasi yang diinginkan. 

CMOV dapat digelar di seluruh sudut Nusantara untuk memantau keamanan negara kita ini. Salah satu alutsista Kohanudnas ini berbasis truk Mercedes Benz MB800 yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga mampu membopong antena parabola yang bisa dilipat dengan sistem elektrik serta berbagai hardware canggih untuk memantau radar seperti monitor, komputer, dan sistem radio telekomunikasi. 

Ketika digelar pada operasi Hanud, mobil CMOV ini dikelilingi oleh para pengawal dan pendukung operasinya. Mobil ini sedianya ditumpangi Pangkohanudnas pada operasi Pertahanan Udara(Hanud) yang mengedepankan mobilitas tinggi. Tidak heran jika fasilitas standard seperti Air Conditioner (AC) yang super dingin dan interior cukup mewah dihadirkan dalam ruang pantau CMOV. 

Bukan tak mungkin operasional mobil ini digelar di wilayah yang sulit didapat air bersih. Untuk itu mobil pembawa penghasil air bersih disertakan juga agar suplai kebutuhan pokok manusia ini tercukupi. 

Seperti layaknya di dalam ruang Popunas, ruang pantau di mobil CMOV ini juga dilengkapi dengan data seluruh radar yang berada dalam naungan setiap Kosekhanudnas. Melakukan hubungan telekomunikasi radio dengan berbagai frekwensi juga dapat dilakukan, bahkan untuk berkomunikasi dengan pesawat interceptor, system komunikasi dalam CMOV mampu melayaninya. CMOV memang dirancang untuk mampu melakukan kontak dengan berbagai unsur Hanud, karena meskipun ukurannya kecil CMOV menjamin kelancaran berbagai cara berkomunikasi. 

Seperti mobil jammer, mobil CMOV juga telah dilibatkan dalam berbagai operasi pengamanan VVIP dalam negeri maupun luar negeri. Ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama berkunjung ke Indonesia, dua unit CMOV dikirim untuk memantau keamanan udara di sekelilingnya dan terbukti mampu melaksanakan fungsinya dengan baik. 

Meskipun basi mobil CMOV dan peralatannya berasal dari luar negeri, tapi semua pengerjaan karoseri dan assembly peralatannya dilakukan oleh para teknisi Indonesia. 
»»  READMORE...

Friday, April 19, 2013

Jet Tempur Sukhoi Su-30 Flanker-C




Sukhoi Su-30 Flanker-C (Foto 1). PROKIMAL ONLINE Kotabumi Lampung Utara

Sukhoi Su-30 Flanker-C (Foto 2). PROKIMAL ONLINE Kotabumi Lampung Utara

Sukhoi Su-30 Flanker-C (Foto 3). PROKIMAL ONLINE Kotabumi Lampung Utara

Sukhoi Su-30 Flanker-C (Foto 4). PROKIMAL ONLINE Kotabumi Lampung Utara

Sukhoi Su-30 Flanker-C (Foto 5). PROKIMAL ONLINE Kotabumi Lampung Utara

Galeri wallpaper foto jet tempur Sukhoi Su-30 Flanker-C :

Pemerintah Republik Indonesia baru saja menerima kedatangan 2 unit jet tempur Sukhoi Su-30 dari 6 pesawat sejenis yang sudah dipesan. Pesawat ini adalah pesawat tempur yang dikembangkan oleh Sukhoi Rusia pada tahun 1996, dan masuk dalam jenis pesawat tempur multi-peran, yang efektif dipakai sebagai pesawat serang darat. Model Sukhoi SU-30 bisa dibandingkan dengan F/A-18E/F Super Hornet and F-15 Eagle, buatan Amerika Serikat.

Sukhoi Su-30 adalah pengembangan dari Su-27UB, dan memiliki beberapa varian. Seri Su-30K dan Su-30MK telah sukses secara komersial. Varian-varian ini diproduksi oleh KNAAPO dan Irkut, yang merupakan anak perusahaan dari grup Sukhoi. KNAAPO memproduksi Su-30MKK dan Su-30MK2, yang dirancang dan dijual kepada Tiongkok. Su-30 paling mutakhir adalah seri Su-30MK buatan Irkut. Antara lain Su-30MKI, yang merupakan pesawat yang dikembangkan khusus untuk Angkatan Udara India, serta MKM untuk Malaysia dan MKA untuk Aljazair.

Sukhoi Su-30 hanya bisa dinaiki oleh dua kru. Dengan panjang 21.935 m, lebar sayap: 14.7 m, tinggi: 6.36 m, luas sayap: 62.0 m², pesawat ini cukup handal untuk terbang jarak jauh. Bobot kosong: 17,700 kg dan bobot terisi: 24,900 kg. Pesawat ini bobot maksimum lepas landas: 34,500 kg. Menggunakan mesin: 2× AL-31FL low-bypass turbofan, pesawat ini laju maksimumnya mencapai Mach 2.0 (2,120 km/h, 1,320 mph) dengan jarak jangkau: 3,000 km at altitude. 

Spesifikasi Jet Tempur Sukhoi Su-30 Flanker-C :
  • Kru : 2
  • Panjang : 21,935 m
  • Lebar sayap : 14,7 m
  • Tinggi : 6,36 m
  • Luas sayap : 62,0 m²
  • Bobot kosong : 17.700 kg
  • Bobot terisi : 24.900 kg
  • Bobot maksimum lepas landas : 34.500 kg
  • Mesin : 2unit AL-31FL low-bypass turbofans
    • Dorongan kering : 7.600 kgf masing-masing
    • Dorongan dengan pembakar lanjut : 12.500 kgf masing-masing
Kinerja
  • Kecepatan maksimum : Mach 2.0 (2.120 km/jam, 1,320 mph)
  • Jarak jangkau : 3.000 km pada ketinggian maksimal penerbangan
  • Ketinggian maksimum penerbangan : 17.300 m
  • Laju panjat : 230 m/detik
  • Beban sayap : 401 kg/m²
  • Dorongan/berat : 1.0
Persenjataan
  • Cannon : 1 unit GSh-30-1 kaliber 30 mm, 150 putaran
  • Rudal Udara-ke-Udara : 6 unit R-27ER1 (AA-10C), 2 unit R-27ET1 (AA-10D), 6 unit R-73E (AA-11), 6 unit R-77 RVV-AE(AA-12)
  • Rudal Udara-ke-Permukaan : 6 unit Kh-31P/Kh-31A rudal anti radar, 6 unit Kh-29T/L rudal berpandu laser, 2 unit Kh-59ME
  • Bom : 6 unit KAB 500KR, 3 unit KAB-1500KR, 8 unit FAB-500T, 28 unit OFAB-250-270
www.republika.co.id, wikipedia.org

Video Jet Tempur Sukhoi Su-30 Flanker-C :
»»  READMORE...

SH-2G Super Seasprite Anti-Submarine Helicopter, Australia


SH-2G Super Seasprite helicopter
The SH-2G Super Seasprite, manufactured by Kaman Aerospace, was the US Navy's front-line intermediate-weight helicopter. 16 SH-2G helicopters were operational in two US Navy squadrons, HSL-94 and HSL-84. First flight of the SH-2G was in 1985 and it entered service with the US Navy in 1993. The SH-2G Super Seasprite was retired from service with the US Navy Air Reserve in May 2001.
The Super Seasprite SH-2G can be equipped for anti-submarine warfare (ASW), anti-surface warfare (ASuW), over-the-horizon-targeting airborne mine countermeasures (AMCM), surveillance, search and rescue (SAR) and covert operations.

Super Seasprite helicopter orders and deliveries

The Australian Navy ordered 11 aircraft for Anzac Class frigates in 1997 under a A$667m contract. Deliveries began in January 2001 and ten were delivered by February 2007. The Australian SH-2G(A) is fitted with the Northrop Grumman (formerly Litton) integrated tactical avionics system (ITAS), digital automatic flight control system and Penguin missile.
The SH-2G(A) received provisional acceptance into service in October 2003. The helicopters were grounded in May 2006, after problems with the flight control system and ITAS software.
A review of the programme was initiated in May 2006 and, in May 2007, the RAN decided to continue with the project rather than pursue alternatives.
However in March 2008, the RAN finally announced the cancellation of the programme. The helicopters were returned to Kaman for possible sale to another customer. Any profits obtained will be shared between Kaman and the Australian Government.
The SH-2G(I) Seasprite is the latest version of the SH-2G Super Seasprite. It was displayed at the Black Sea Defence and Aerospace Exhibition and Conference held in Bucharest, Romania in September 2008 to attract potential international customers.
The New Zealand Navy ordered five aircraft in 1997, for two Anzac frigates and the Leander Class frigate, HMNZS Canterbury under a NZ$12m contract. Deliveries began in 2001, and were completed in March 2003 and all five have entered service. The New Zealand SH-2G is armed with Maverick missiles.
Egypt ordered ten SH-2G(E), equipped with dipping sonar and a digital hover coupler in 1995 under a foreign military sale agreement (FMSA) with the US Navy. Deliveries began in 1997 and were completed in 1998. Egypt lost one aircraft during aa sea crash in 2006.
"The SH-2G Super Seasprite has a crew of three: two pilots and a SENSO."
In August 2005, the Egyptian Air Force awarded a $5.3m contract to Kaman to modernise two SH-2G(E) Super Seasprite helicopters with an option to include two more aircraft. The two upgraded SH-2G(E) aircraft were delivered in February 2009.
Upgrades included addition of digital automatic flight control system (DAFCS), FLIR systems, health and usage monitoring systems (HUMS), ALE-47 countermeasures dispensing, APN-194 radar altimeter and AHS-1000 attitude heading referencing systems (AHRS)
The Polish Navy has four SH-2G, which were transferred from the US Navy in 2002/3, to serve on ex-USN Oliver Hazard Perry frigates.

Cockpit

The SH-2G has a crew of three: two pilots and a sensor operator (SENSO). However, it can also be flown by a single pilot and SENSO, due to the flexible integrated tactical avionics system (ITAS) designed by Kaman and Northrop Grumman (formerly Litton) Guidance & Controls. ITAS is driven by dual mission data processors and uses two dual 1553B databuses to integrate sensors, weapons, communications and navigation equipment.
The glass cockpit has four colour multifunction displays and new centre console, which has two smart display units to simplify data entry by the pilot and the SENSO.

SH-2G weapons

The SH-2G can be armed with Raytheon AGM-65 Maverick infrared imaging or TV-guided, Penguin infrared imaging, radar-guided Improved Sea Skua, and laser-designated Hellfire missiles.
The SH-2G is cleared for mk44, mk46 and mk50 torpedoes, and is compatible with a wide range of European ASW weapons.
Royal New Zealand Navy SH-2Gs have been fitted with the Fabrique Nationale (FN) MAG-58M 7.62mm machinegun as an urgent operational requirement. First operational deployment with the gun was in May 2008.

Super Seasprite countermeasures

The SH-2G(A) for Australia has Northrop Grumman (formerly Litton) AN/ALR-93 electronic protection measures, ATK AN/AAR-47 missile warning system, BAE Systems North America (formerly Sanders) AN/ALQ-144 infrared jammers and twin BAE Systems Integrated Defense Solutions (formerly Tracor) AN/ALE-39 flare and chaff dispensers. The SH-2G's for New Zealand are fitted with Northrop Grumman LR-100 ESM.

Sensors

The Northrop Grumman LN-66HP multimode radar provides the helicopter with ASW, ASuW and anti-ship surveillance and targeting (ASST) capability. Alternative multi-mode radar fits available include Northrop Grumman LN-66 HP Enhanced, BAE Systems Seaspray, and Telephonics APS-143 advanced search radar. The APS-143, chosen by New Zealand, has optional inverse synthetic aperture (ISAR) mode.
The Raytheon AN/AAQ-16 FLIR (forward-looking infrared) is available with a laser designator. The SH-2Gs for New Zealand are fitted with a FLIR Systems AN/AAQ-22 thermal imager.
The SH-2 Seasprite helicopter relays acoustic data from sonobuoys back to the host ship for processing via AKT-22 datalink. On the SH-2G, an autonomous submarine hunting capability has been introduced using Computing Devices UYS-503 onboard acoustic processor to analyse returns from its own buoys.
"The SH-2G is cleared for mk44, mk46 and mk50 torpedoes."
Northrop Grumman ASN-150 tactical navigation (TACNAV) system displays a refined tactical plot and downlinks the picture to its own ship or other ASW platforms.
For the Egyptian requirement, the SH-2G(E) is equipped with L-3 Communications AN/AQS-18A active dipping sonar and digital hover coupler.

Magic lantern airborne laser mine detection system

The SH-2G Super Seasprite was the first helicopter qualified with the Kaman Magic Lantern airborne laser mine detection system. In 1996, the US Navy took delivery of the Kaman Magic Lantern laser mine detection system which was fitted on the Super Seasprite for airborne mine countermeasures (AMCM) missions.
The Magic Lantern pod uses a blue-green laser and charge-coupled device (CCD) cameras to sweep the ocean from the surface to below the keel depth of warships. Magic Lantern provides mine classification symbology and video imagery on the existing ASN-1 50 displays.

Engines

SH-2G is fitted with General Electric T700-GE-401 engines. The T700-401 is rated 1,412shp. Second-generation composite main rotor blades (CMRB2) have been fitted on the Super Seasprite, which incorporate filament wound S-glass spars, glass skins, aramid honeycomb cores and aramid trailing edges.

SH-2G performance

The SH-2G can climb at the rate of 10.51m/s. The maximum and cruise speed of the aircraft are 277km/h and 222km/h respectively. The range is 1,000km and service ceiling is 6,217m. It can loiter in air for a maximum of 5.3 hours.

»»  READMORE...

KEEL LAYING Kapal Cepat Rudal (KCR-60 METER) TNI AL



Kamis, 18 April 2013, PT PAL INDONESIA (PERSERO) kembali menggelar acara Keel Laying Kapal Cepat Rudal (KCR) 60 M hull No. M000274 yang merupakan kapal kedua dari 3 (tiga) kapal sejenis pesanan TNI-AL. Direncanakan Kasal beserta jajaran berkenan hadir untuk menyaksikan acara tersebut.
Pembangunan KCR 60 M ini berdasarkan Surat Perjanjian Jual Beli Nomor : KTR/1056/02-48/XII/2011/Disadal No. Pembangunan M000273, W000274 dan W000275 antara PT PAL INDONESIA (PERSERO) dan TNI-AL yang diwakili oleh DINAS PENGADAAN MABESAL, di bangun atas dasar kelas BKI.
Dijadwalkan kapal ke-2 ini akan diserahkan pada medio Maret 2014, sedangkan kapal yang ke-1, direncanakan akan diserahkan pada akhir Desember 2013, sedangkan kapal ke-3 akan diserahkan pada medio Juni 2014.
Adapun ukuran Utama Kapal Cepat Rudal 60 Meter (KCR-60M) :
- Panjang keseluruhan (LOA)  :  59.80 M
- Panjang garis air (LWL)  :  54.82 M
- Lebar (B)  :  8.10 M
- Tinggi pada tengah kapal (T)  :  4.85 M
- Sarat muatan penuh (Dd)  :  2.60 M
- Berat muatan penuh (Displacement)  :  460 Ton
Sistem Persenjataan
1.  1 X Meriam Utama 57 mm
2.  2 X  Senjata 20 mm
3.  2  X 2 Peluncur rudal anti kapal permukaan (SSM)
4.  2 X Decoy Launcher
Olah Gerak
KCR 60M mempunyai kemampuan olah gerak yang tinggi, lincah dalam posisi tembak dan mampu melaksanakan penghindaran dari serangan balasan lawan.
Ketahanan Berlayar
1. Ketahanan dilaut  :  9 hari
2. Jarak jelajah  : 2.400 nm pada kecepatan 20 knot
3. Akomodasi   :  43 orang
Kelaikan Kapal
KCR 60m dirancang dengan mempertimbangkan kriteria kelaikan laut sbb :
1. Stabilitas kapal memenuhi kriteria standar IMO A (749)
2. Tugas patroli hingga sea state 3
3. Kemampuan pengoperasian senjata hingga sea state 4
Diharapkan dengan even ini, semakin memperkokoh komitmen PT PAL INDONESIA (PERSERO) serta wujud nyata untuk terus berperan aktif dalam pemenuhan alutsista negara, menuju kemandirian bangsa pada ALUTSISTA khususnya bidang kemaritiman.

»»  READMORE...

NASA SIAPKAN ROKET RAKSASA YANG SUPER CEPAT



detail berita
Ilustrasi


Astronesia-National Aeronautics and Space Administration (NASA) memiliki roket besar terbaru yang kini tengah dikembangkan. Roket tersebut dirancang untuk mengangkut astronot menuju orbit luar Bumi di luar angkasa.

Roket Space Launch System (SLS) ini akan menempuh perjalanan ke luar angkasa. Namun, sebelum perangkat tersebut diluncurkan, roket buatan badan antariksa Amerika Serikat itu harus menyelesaikan tahap uji melalui terowongan angin.

Misi pertama roket canggih ini kabarnya mulai beroperasi pada 2017. Kini, insinyur NASA tengah sibuk menggarap desain tahap akhir pada kendaraan peluncur tersebut.

NASA akan melakukan tahap uji model roket dengan panjang 10 kaki itu di terowongan transonic di Langley, Virginia. "Tes ini meliputi model kendaraan besar terintegrasi untuk diuji di terowongan angin," ujar John Blevins, SLS Lead Engineer for Aerodynamics and Acoustics.

John mengatakan, roket ini akan mensimulasikan lingkungan penerbangan transonic bahwa roket SLS akan menavigasi selama penerbangan. Model ini akan dapat melesat hingga kecepatan Mach 1.2 (supersonik).

Ada transducers tekanan 360 yang tersebar di seluruh permukaan model. Menurut NASA, data diperoleh pada tingkat 13 ribu pemindaian per detik. 

Informasi yang didapat dari tes terowongan angin akan memberikan wawasan tentang kekuatan struktural SLS. Ini diperlukan untuk mengetahui sejauh mana roket dapat bertahan selama peluncuran dan akselerasi dari subsonik menuju penerbangan supersonik.

Misi pertama roket ini akan meluncurkan pesawat luar angkasa Orion ke orbit bulan sebagai pemeriksaan awal dari sistem. Armada luar angkasa ini akan diluncurkan tanpa awak, namun NASA berharap bisa mengirimkan astronot ke sekitar bulan pada 2021 serta memperluas generasi baru dari teknologi penerbangan luar angkasa.

»»  READMORE...

MENGENAL ROKET LUAR ANGKASA PROTON-M BUATAN RUSIA



http://astronesia.blogspot.com/
Roket Proton M

Astronesia-Rusia kabarnya akan meluncurkan beberapa roket Proton M di 2013. Roket luar angkasa tersebut akan diluncurkan di Baikonur Cosmodromem, Kazakhstan.

Dilansir Spacedaily,  Rusia berencana meluncurkan roket Proton M tahun 2013 ini dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang telah direncanakan. Keputusan tersebut diambil oleh otoritas pemerintah Kazakhstan untuk memangkas peluncuran Proton M dari 17 roket menjadi 12 roket di fasilitas peluncuran luar angkasa Baikonur.

Proton-M merupakan roket pengangkut yang dikembangkan Rusia. Peluncuran roket Proton-M pertama kali dimulai pada 7 April 2001.

Roket yang diproduksi oleh Khrunichev State Research yang berbasis di Moskow ini memiliki beberapa tingkat. Roket yang dapat mengangkut muatan dengan berat lebih dari 20 ribu kilogram ini memiliki tinggi 53 meter (174 kaki) dan berdiameter 7,4 meter (24 kaki).

Wikipedia menerangkan, Proton-M memiliki fitur modifikasi pada tahap yang lebih rendah untuk mengurangi massa struktural, meningkatkan dorong dan sepenuhnya menggunakan teknologi propelan (daya pendorong tingkat tinggi).

Proton-M mengusung sistem konsumsi penuh pada propelan. Sehingga, ini akan meningkatkan kinerja roket ketimbang varian roket sebelumnya.

Selain itu, pengembangan terbaru memungkinkan roket untuk mengurangi jumlah bahan kimia beracun yang tersisa akibat dampak downrange (jarak jorizontal perjalanan roket luar angkasa).

»»  READMORE...

SABR, RADAR CANGGIH F-16



SABR F-16

Bagi pilot jet tempur, penggunaan radar akan sangat menentukan hasil operasi. Untuk itu, Northrop Grumman menghadirkan Big SAR (synthetic aperture radar) for Scalable Agile Beam Radar (SABR) guna menghasilkan pemetaan yang besar dengan resolusi tinggi. Ini merupakan pencitraan radar paling tajam yang pernah dibuat untuk jet tempur F-16.

SABR telah berhasil mendemonstrasikan beberapa kemampuan radar canggih untuk F-16, termasuk pemetaan Big SAR dengan isyarat sasaran otomatis. SABR Big SAR menawarkan kesadaran situasional dan identifikasi sasaran yang belum pernah ada sebelumnya untuk pilot F-16.

"SABR Big SAR adalah pencitraan radar definisi-tinggi yang mencakup area luas di darat/permukaan dalam satu gambar," ujar Joseph Ensor, wakil presiden dan general manager dari divisi sistem Intelijen, Pengawasan, Pengintaian dan Sasaran Northrop Grumman. "Kecanggihan ini akan memberikan pilot F-16 peta terbesar dan sangat detail yang belum pernah mereka lihat sebelumnya di kokpit. Dikombinasikan dengan kemampuan isyarat target otomatis dalam SABR, F-16 akan memiliki kemampuan penargetan yang tak tertandingi oleh pesawat tempur generasi keempat lainya."

SABR dilengkapi radar active electronically scanned array (AESA) multifungsi yang dirancang khusus untuk F-16 retrofit. SABR juga menyediakan jarak deteksi dan pelacakan yang jauh, peta SAR resolusi-tinggi untuk penargetan presisi semua lingkungan, interleaved mode operations untuk kesadaran situasional dan keandalan yang lebih tinggi.

Northrop Grumman sudah berpengalaman hampir empat dekade untuk integrasi dan pembangunan radar F-16, dan telah melahirkan lebih dari 6.000 radar kontrol tembak untuk Angkatan Udara AS dan internasional. Perusahaan AS yang didirikan pada tahun 1927 ini juga telah memasok radar kontrol tembak untuk pesawat tempur F-16 Block 60, F-22 dan F-35.

Northrop Grumman adalah perusahan keamanan global terkemuka yang selalu menghadirkan sistem yang inovatif, produk dan solusi untuk sistem tak berawak, keamanan cyber, C4ISR*, logistik dan modernisasi untuk pelanggan pemerintah dan komersial di seluruh dunia.


*Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance and Reconnaissance
»»  READMORE...

Hornet Babies


“Back in the old Marine Corps...”

The author in his salad days having graduated from the F-4S to the F/A-18D.The author, in his salad days, having graduated from the F-4S to the F/A-18D.
Courtesy John Scanlan
I recently received this e-mail from a Marine Corps captain in the F/A-18D squadron in which I served in the early 1990s:
LtCol. Scanlan,
My name is Captain Mario Martin, and I am the historian for VMFA(AW)-121. As the squadron begins the transition process from the F/A-18D Hornet to the Joint Strike Fighter, I am assembling an archive concerning the F/A-18D. Would you be willing to donate a copy of your book, Speed is Life, More is Better?

Wait a second. What? VMFA(AW)-121 is getting the F-35? Didn’t they just get the F/A-18D? I did some math in my head.
Twenty-four years ago, back in 1988, I was a bonehead first lieutenant with VMFA-212, stationed at Kaneohe Bay, Hawaii. Nearing the end of my three-year tour, the squadron conducted the final overseas deployment of the venerable F-4S Phantom. I had been in the back seat, as a radar intercept officer. The new F/A-18A had a single seat—no place for me. I began to look for a job in the real world, but the Marine Corps dangled a carrot before me in the form of the F/A-18D, a two-seat Hornet, and I bit.
Unfortunately, the D model was not to come into service until 1990. I had a little over a year to kill. Where could I hide? The Corps piped up: “We’ve got a job you can do for a year.” So while my fellow radar intercept officers left the Marine Corps like rats jumping off a sinking ship, I did a one-year tour with the infantry as a forward air controller. That is, it was supposed to be a one-year tour, but the Marine Corps kept moving the carrot, and I ended up spending 15 months with the First Battalion, Third Marine Regiment. Then, in January 1990, with orders for the F/A-18D in hand, I left the regiment, vowing I would never be tired, hungry, dirty, cold, and wet again.
In September 1990, after eight months in the F/A-18 training squadron, I reported to VMFA(AW)-121, which had 12 brand spankin’ new two-seat F/A-18Ds. I was given a fancy-schmancy new designation: weapons and sensors operator. I had gone from rubbing two sticks together in the F-4S to having a flame thrower in the F/A-18D. As for the pilots, they boasted about having evolved from F-4 cavemen to Luke Skywalkers.
That was 22 years ago. Maybe my beloved F/A-18D was going down the same road as the F-4S. Suddenly, my lower back hurt a little.
And now -121 is retiring the F/A-18D? And replacing it with the F-35 Lightning II? I felt a twinge of arthritis in my knees. But if -121 is indeed getting the F-35, it raises some perplexing questions.
Just like the situation back in 1988, there’s no place in the single-seat Joint Strike Fighter for an F/A-18D weapons and sensors operator. And since there’s no two-seat F-35 on the drawing board, the Marine Corps has no carrot to dangle. So will F/A-18D WSOs behave like rats on a sinking ship even more so than the radar intercept officers of the late ’80s?
Second, if the F/A-18D pilot of 1990 was Luke Skywalker, who is the F-35 pilot of 2013? God in a flightsuit? He would have to be: I can’t imagine the technological advances made in the past 22 years that would make Luke Skywalker look Neanderthal.
Last, back in the old Corps—wait a second. I always swore I would never say that. Elderly pilots used to look down their noses and joke about “Hornet Babies,” the young, spoiled pilots who came straight into the F/A-18 from flight school, and never knew the frustrations of flying an earlier, archaic aircraft like the F-4.
So will elderly Hornet Babies now be joking about a whole new generation of “Lightning Babies”? It’s hard for me to imagine young, spoiled pilots who know only the F-35, and it’s even harder to call the F/A-18 an archaic aircraft.
Pardon me. I feel a sudden urge to move to Florida.
A 1983 graduate of the U.S. Naval Academy, John Scanlan retired from the Marine Corps as a lieutenant colonel. He is pursuing a second career as a writer while living in Hilton Head Island, South Carolina.

»»  READMORE...