Apakah betul AS dan Rusia mengembangkan senjata rudal masa depan yang sanggup terbang dengan kecepatan hipersonik?
Putra Nirwana – Perumahan Chandra Mas, Sidoarjo, Jatim
Setelah serangan teroris 11 September 2001, pejabat pertahanan Amerika Serikat (AS) memutuskan bahwa mereka perlu untuk mendapatkan kemampuan "serangan global yang cepat", menggunakan wahana yang mampu menghancurkan sasaran dengan bahan peledak konvensional di lokasi mana pun di bumi dengan cepat.
Hal itu dikarenakan AS punya pengalaman pahit ketika tahun 1998 Presiden Bill Clinton memerintahkan Armada AL AS di Laut Arab untuk menyerang sasaran kamp pelatihan Al Qaeda di dekat Kota Khost (Afghanistan Timur) dengan lebih dari 60 buah rudal jelajah Tomahawk. Rudal-rudal jelajah ini meluncur ke arah utara pada ketinggian sekitar 30 meter di atas permukaan tanah dengan kecepatan subsonik 880 km/jam. Dibutuhkan waktu terbang dua jam untuk mencapai sasaran dengan jarak sekitar 1.800 km.
Kamp latihan berhasil dihancurkan dan beberapa orang tewas. Namun sasaran utama serangan tanggal 20 Agustus 1998 itu, yaitu pemimpin Al Qaeda Osama bin Laden, berhasi lebih dulu meninggalkan lokasi sebelum rudal-rudal jelajah itu menghantam sasaran.
Sebetulnya para pakar senjata AS pernah punya ide untuk melakukan serangan kilat jarak jauh menggunakan rudal balistik antarbenua dan mengganti hulu ledak nuklir dengan bahan peledak konvensional. Namun halangan utama adalah kekuatiran jika penggunaan rudal balistik dapat disalahartikan sebagai awal dari serangan nuklir yang bisa memprovokasi serangan nuklir balasan skala penuh.
Namun negara lain yaitu China malah menggunakan konsep yang ditinggalkan AS tersebut. Pada tahun 2010 China melaksanakan program mengonversi rudal balistik nuklir menjadi pembunuh kapal induk dengan hulu ledak konvensional. Rudal balistik DF-21D “Carrier Killer” ini dirancang untuk menukik dari angkasa menuju sasaran kapal-kapal perang di Pasifik Barat dengan kecepatan hipersonik Mach 10. Meskipun akurasi sistem pembimbing arah DF-21D pada sasaran kapal bergerak belum diketahui, namun keberadaan rudal tersebut sudah mengubah keseimbangan kekuatan di Pasifik Barat.
Para perencana militer AS kini memilih mengembangkan wahana hipersonik yang terbang cepat melalui atmosfer tanpa disalahartikan sebagai rudal nuklir. Wahana hipersonik ini menggunakan mesin penghisap udara dari atmosfer namun dapat meluncur pada kecepatan roket dan mencapai lima kali kecepatan suara atau Mach 5, setara dengan sekitar 6.200 km/jam di atas permukaan laut. Terbang di atmosfer membuat wahana hipersonik bisa lebih mudah untuk bermanuver daripada di ruang angkasa. Sehingga lebih mudah menghindari rudal pencegat dan bisa mengubah lintasan jika sasaran berpindah posisi.
Mesin hipersonik memiliki desain yang sama sekali berbeda dari mesin turbofan dan turbojet yang digunakan pesawat tempur atau rudal jelajah karena mengandalkan mesin tanpa bagian yang berputar. Salah satu jenis mesin yang disebut ramjet menggunakan lubang masukan khusus untuk memampatkan dan memperlambat aliran udara ke kecepatan subsonik. Saat ini rudal nuklir ASMPA bermesin ramjet buatan Perancis sudah operasional pada pesawat tempur Rafale dan Mirage. Rudal jelajah taktis nuklir ini mampu terbang 500 km dengan kecepatan Mach 3 atau sekitar 3.700 km/jam.
Masalahnya agar bisa mencapai kecepatan hipersonik Mach 5 mesin ramjet harus mendapatkan pembakaran dalam aliran udara supersonik yang disebut supersonic-combustion ramjet atau scramjet. Yang menjadi masalah utama adalah bagaimana menginjeksi dan membakar bahan bakar dalam aliran udara supersonik.
Baru-baru ini badan antariksa Amerika, NASA, telah membuat kemajuan dalam uji coba wahana scramjet X-51AWaverider. Pada tes pertama bulan Mei 2010, X-51A mencapai Mach 5 selama penerbangan sekitar 200 detik. Kedua tes berikutnya pada Juni 2011 dan Agustus 2012 gagal. Namun akhirnya pada uji coba penerbangan 1 Mei 2013 wahana X-51A berhasil mempertahankan kecepatan Mach 5.1 selama empat menit sebagai penerbangan scramjet terlama dalam sejarah.
Setelah wahana hipersonik X-51A mulai mencoba pendekatan lain yang disebut Project Falcon. Peneliti Angkatan Udara AS dan DARPA, telah mengembangkan wahana hipersonik “boost-glide” yang dipasang pada rudal balistik antarbenua yang dimodifikasi. Tanpa menggunakan mesin scramjet wahana ini berhasil mencapai kecepatan hipersonik karena dijatuhkan dari ketinggian tinggi.
Wahana luncur hipersonik ini ditembakkan dengan rudal jelajah sampai ketinggian tertentu di mana ia memisahkan diri dan tidak mengikuti lintasan balistik namun meluncur kembali ke Bumi pada kecepatan lebih dari 20.000 km/jam. Wahana pertama diuji pada bulan April 2010, berhasil dipisahkan dari rudal balistik namun sekitar sembilan menit kemudian hilang kontak. Sebuah tes pada tahun 2011 juga gagal.
Meskipun demikian penelitian senjata hipersonik terus berlanjut karena meskipun sulit mengembangkan wahana hipersonik sangat mungkin. NASA sudah menguasai tehnologi pesawat ulang alik yang saat kembali kebumi mencapai kecepatan Mach 25, begitu cepatnya sehingga gesekan memanaskan molekul udara menjadi lapisan plasma dan harus dilindungi pelapis khusus. Tehnologi ini cocok digunakan pada wahana hipersonik.
DARPA mencatat bahwa AS secara bertahap kehilangan "keuntungan strategis" dari penguasaan teknologi pesawat tempur siluman (stealth) akibat negara-negara lain juga terus mengembangkan kemampuan siluman dan kontra-siluman. Tahun lalu pejabat tinggi Rusia pernah mengatakan bahwa desain rudal hipersonik menjadi prioritas bagi Rusia. Oleh karena itu DARPA menyarankan agar AS mengembangkan "siluman baru" wahana hipersonik demi memiliki keunggulan dalam konflik mendatang. (Kol. PNB. Agung "Sharky" Sasongkojati)
No comments:
Post a Comment