MIM 104 Patriot |
Namanya mencuat semasa Perang Teluk 1991. Dialah pembungkam rudal maut Scud paling jitu. Dimana letak keunggulannya?
Prestasi rudal taktis yang satu ini memang luar biasa. Tak percaya? Simak saja unjuk kebolehannya semasa Perang Teluk 1991, kala Angkatan Bersenjata AS berusaha mengusir kekuatan Irak dari Kuwait. Patriot berhasil "melahap" 70 persen rudal Scud yang diluncurkan Irak ke Kuwait dan Arab Saudi, langsung di udara.
Setiap rudal punya kelebihan. Tetapi ketika perhatian tertuju pada duel rudal, pertama yang terbayang tentu soal kecepatan dan keakuratan. Sejak awal, selaku pembuat, Raytheon sadar betul kebutuhan mendasar tersebut. Jika Scud biasa melaju mendekati satu kali kecepatan suara atau Mach 1, Patriot tentu harus lebih cepat dari itu. Tanpa keunggulan ini, sang rudal hanyalah mesin pembunuh yang bodoh. Lebih dari itu operatornya pun harus orang-orang yang cekatan.
Alhasil, mengoperasikan rudal pelahap rudal ini memang lebih merepotkan ketimbang rudal lain. Kelengkapan andalan Angkatan Darat AS ini pun ekstra kompleks. Sistemnya tak hanya terdiri dari sebatas peluncur, tetapi juga harus didukung banyak piranti lain. Yang sudah pasti jadi pasangan tetap adalah radar pengendus khusus serta stasiun penentu dan pengarah data tersebut.
Radar akan jadi pengendus sasaran selagi masih dalam jarak yang sangat jauh. Sementara stasiun penentu/pengarah data secara sinergis akan menampilkan data penerbangan rudal musuh yang dimaksud. Baik itu berupa data trayektori dan posisi. Perlengkapan terakhir yang biasa dijuluki Engagement Control Station (ECS) ini juga akan jadi penuntun utama Patriot ke arah rudal yang akan dimusnahkan.
Prestasi rudal taktis yang satu ini memang luar biasa. Tak percaya? Simak saja unjuk kebolehannya semasa Perang Teluk 1991, kala Angkatan Bersenjata AS berusaha mengusir kekuatan Irak dari Kuwait. Patriot berhasil "melahap" 70 persen rudal Scud yang diluncurkan Irak ke Kuwait dan Arab Saudi, langsung di udara.
Setiap rudal punya kelebihan. Tetapi ketika perhatian tertuju pada duel rudal, pertama yang terbayang tentu soal kecepatan dan keakuratan. Sejak awal, selaku pembuat, Raytheon sadar betul kebutuhan mendasar tersebut. Jika Scud biasa melaju mendekati satu kali kecepatan suara atau Mach 1, Patriot tentu harus lebih cepat dari itu. Tanpa keunggulan ini, sang rudal hanyalah mesin pembunuh yang bodoh. Lebih dari itu operatornya pun harus orang-orang yang cekatan.
Alhasil, mengoperasikan rudal pelahap rudal ini memang lebih merepotkan ketimbang rudal lain. Kelengkapan andalan Angkatan Darat AS ini pun ekstra kompleks. Sistemnya tak hanya terdiri dari sebatas peluncur, tetapi juga harus didukung banyak piranti lain. Yang sudah pasti jadi pasangan tetap adalah radar pengendus khusus serta stasiun penentu dan pengarah data tersebut.
Radar akan jadi pengendus sasaran selagi masih dalam jarak yang sangat jauh. Sementara stasiun penentu/pengarah data secara sinergis akan menampilkan data penerbangan rudal musuh yang dimaksud. Baik itu berupa data trayektori dan posisi. Perlengkapan terakhir yang biasa dijuluki Engagement Control Station (ECS) ini juga akan jadi penuntun utama Patriot ke arah rudal yang akan dimusnahkan.
Gambar Tembakan Rudal Patriot |
Lalu, bagaimana cara operator ECS memastikan bahwa sasaran benar-benar rudal musuh? Sederhana saja. Sebagaimana cara penerbang militer dunia mengidentifikasi kawan dan lawan, operator ECS juga menerapkan teknik IFF (Identification Friend or Foe).
Dengan teknik IFF, persisnya, setiap pesawat kawan akan memancarkan kode pengenal yang selalu diperbaharui setiap hari. Di layar radar, bentuknya biasa berupa lingkaran berkedip di layar dengan huruf "T" di tengah. "T" berarti true friend. Namun, jika yang tertangkap radar hanya lingkaran kosong, bisa dipastikan bahwa dia adalah obyek tak dikenal. Operator ECS tak pernah bisa melihat wujud fisik rudal secara langsung. Berkat tatacara elektris inilah serangan bisa fokus.
Akan tetapi, sebagaimana lazimnya radar terestrial, ECS punya kelemahan mendasar yang sulit ditutupi. Hal itu berkaitan dengan ketidakmampuan mengendus sasaran sebelum melewati batas ufuk (horizon). Itu sebabnya dalam pentas Perang Irak 1991 AD AS menganggap perlu mengerahkan satelit mata-mata sebagai pendukung radar ECS.
Karena letaknya ada di langit, satelit bisa memantau dalam cakupan lebih luas. Alhasil, berkat DSP (Defense Support Program) begitu nama satelit dimaksud operator Patriot bisa mengantisipasi kehadiran rudal musuh lebih dini dari kemampuan standarnya. Scud, misalnya, sudah bisa dipantau sejak "masih" pada jarak 115 km. Ini artinya, alarm ECS Patriot di Jakarta misalnya sudah mulai menyalak saat rudal yang diluncurkan dari Ujung Kulon sudah memasuki wilayah udara Sukabumi.
Sejak alarm berbunyi, operator ECS akan punya waktu 6-7 menit untuk meluncurkan Patriot. Sementara sang rudal sendiri hanya perlu waktu 15-18 detik untuk menghancurkan musuh di udara. Sasaran biasa ditabrak pada jarak 16-32 km dengan kecepatan menanjak 700-1.400 m/detik.
Untuk memperkecil risiko, kesatuan operasi Patriot biasanya meluncurkan lebih dari satu rudal untuk "memburu" sebuah Scud. Brigade Artileri Pertahanan Udara ke-11, AD AS, yang diterjunkan di Kuwait semasa Perang Teluk 1991, misalnya, biasa meluncurkan 2-4 rudal untuk setiap Scud yang diluncurkan.
Mulai dikembangkan pada 1961, rudal berkecepatan Mach 5 ini diproyeksikan untuk mengganti rudal permukaan ke udara MIM-23 Hawk. Raytheon perlu waktu sampai 14 tahun hingga benar-benar yakin sang rudal bisa berfungsi sesuai spesifikasi. Ia dipersiapkan secara teliti mengingat salah sedikit saja ia bisa berubah menjadi penebar teror yang amat mengerikan.
Rudal sepanjang 5,8 meter ini akan terbang sesuai arahan pamandu inertial yang ditanam di bagian tengah badan. Sinyal yang diberikan adalah sinyal ECS yang telah diproses dan diterima melalui antena yang ditaruh di bagian ekor. Sinyal ini akan menjaga penerbangan tetap pada koridor beam radar ECS. Sementara penjejak pasif yang ditanam di bagian kepala akan menuntun terbang fokus ke arah sasaran.
Versi pertama Patriot, MIM-104A, pertama kali diperkenalkan pada Oktober 1980. Dari berat totalnya yang mencapai 900 kg, 91 kg di antaranya adalah hulu ledak yang berasal dari kategori high explosive. Tak lama kemudian, Raytheon juga meluncurkan versi kedua, yakni MIM-104B, dengan spesifikasi sasaran berupa radar pengacak sinyal elektronik.
Dengan teknik IFF, persisnya, setiap pesawat kawan akan memancarkan kode pengenal yang selalu diperbaharui setiap hari. Di layar radar, bentuknya biasa berupa lingkaran berkedip di layar dengan huruf "T" di tengah. "T" berarti true friend. Namun, jika yang tertangkap radar hanya lingkaran kosong, bisa dipastikan bahwa dia adalah obyek tak dikenal. Operator ECS tak pernah bisa melihat wujud fisik rudal secara langsung. Berkat tatacara elektris inilah serangan bisa fokus.
Akan tetapi, sebagaimana lazimnya radar terestrial, ECS punya kelemahan mendasar yang sulit ditutupi. Hal itu berkaitan dengan ketidakmampuan mengendus sasaran sebelum melewati batas ufuk (horizon). Itu sebabnya dalam pentas Perang Irak 1991 AD AS menganggap perlu mengerahkan satelit mata-mata sebagai pendukung radar ECS.
Karena letaknya ada di langit, satelit bisa memantau dalam cakupan lebih luas. Alhasil, berkat DSP (Defense Support Program) begitu nama satelit dimaksud operator Patriot bisa mengantisipasi kehadiran rudal musuh lebih dini dari kemampuan standarnya. Scud, misalnya, sudah bisa dipantau sejak "masih" pada jarak 115 km. Ini artinya, alarm ECS Patriot di Jakarta misalnya sudah mulai menyalak saat rudal yang diluncurkan dari Ujung Kulon sudah memasuki wilayah udara Sukabumi.
Sejak alarm berbunyi, operator ECS akan punya waktu 6-7 menit untuk meluncurkan Patriot. Sementara sang rudal sendiri hanya perlu waktu 15-18 detik untuk menghancurkan musuh di udara. Sasaran biasa ditabrak pada jarak 16-32 km dengan kecepatan menanjak 700-1.400 m/detik.
Untuk memperkecil risiko, kesatuan operasi Patriot biasanya meluncurkan lebih dari satu rudal untuk "memburu" sebuah Scud. Brigade Artileri Pertahanan Udara ke-11, AD AS, yang diterjunkan di Kuwait semasa Perang Teluk 1991, misalnya, biasa meluncurkan 2-4 rudal untuk setiap Scud yang diluncurkan.
Mulai dikembangkan pada 1961, rudal berkecepatan Mach 5 ini diproyeksikan untuk mengganti rudal permukaan ke udara MIM-23 Hawk. Raytheon perlu waktu sampai 14 tahun hingga benar-benar yakin sang rudal bisa berfungsi sesuai spesifikasi. Ia dipersiapkan secara teliti mengingat salah sedikit saja ia bisa berubah menjadi penebar teror yang amat mengerikan.
Rudal sepanjang 5,8 meter ini akan terbang sesuai arahan pamandu inertial yang ditanam di bagian tengah badan. Sinyal yang diberikan adalah sinyal ECS yang telah diproses dan diterima melalui antena yang ditaruh di bagian ekor. Sinyal ini akan menjaga penerbangan tetap pada koridor beam radar ECS. Sementara penjejak pasif yang ditanam di bagian kepala akan menuntun terbang fokus ke arah sasaran.
Versi pertama Patriot, MIM-104A, pertama kali diperkenalkan pada Oktober 1980. Dari berat totalnya yang mencapai 900 kg, 91 kg di antaranya adalah hulu ledak yang berasal dari kategori high explosive. Tak lama kemudian, Raytheon juga meluncurkan versi kedua, yakni MIM-104B, dengan spesifikasi sasaran berupa radar pengacak sinyal elektronik.
No comments:
Post a Comment