News in Picture

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Saturday, May 11, 2013

Transfer Teknologi Alat-Alat Tempur: Fakta Atau Utopia ?




MLRS Astross II yang dibeli TNI dari Brazil beberapa waktu lalu. Akankah Brazil melakukan Transfer teknologi (ToT) untuk Indonesia dalam pembuatan Rudal Multi laras ini ? 

Transfer teknologi, terlebih lagi di bidang militer, adalah kisah yang hampir-hampir menjadi dongeng. Dongeng yang enak di dengar, mudah di ucapkan, namun nyatanya selalu sulit diwujudkan. Mungkin istilah itu harus diganti, agar terminologi itu tidak terasa 'menakutkan' bagi negara-negara maju, yang dalam hal ini terkandung makna harus memberikan ilmunya kepada negara-negara berkembang. Jika dalam green technology saja transfer teknologi begitu sulit, apalagi di bidang militer, tentu lebih sulit lagi. Jangan berharap mereka (negara maju) itu mau menularkan ilmunya begitu saja.

Tapi jika memang transfer teknologi itu sesuatu yang mustahil dilakukan, kenapa Jerman mau berbaik hati membantu Indonesia mendirikan pabrik pesawat terbang bernama IPTN ketika itu ?
Ya, itulah kelihaian BJ Habibie dalam memboyong ahli-ahli pesawat Jerman ke Indonesia, dan kepandaian beliau juga dalam meyakinkan Presiden Soeharto ketika itu agar mau tanda tangan mengalokasikan trliunan rupiah untuk proses pendirian dan pendidikan ahli-ahli aeronetika Indonesia.

Transfer teknologi memang sulit, tapi bukan berarti mustahil. Terbukti kita juga bisa menguasai teknologi tinggi yang tidak mampu dikuasai oleh negara tetangga, berkat 'transfer teknologi' dari negara maju seperti Jerman. Persoalannya tidak terletak pada keengganan sang penguasa teknologi untuk memberikan ilmu dan pengalamannya pada negara penerima, melainkan 'cara' mendapatkannya.

Ya, cara atau strategi negara berkembang agar bisa mendapatkan ilmu dari negara maju itulah yang menentukan. Hampir pasti mereka tidak akan sudi memberikan begitu saja pada negara dan bangsa lain, namun mereka bisa 'dipaksa' dengan satu atau lain cara agar mau 'menularkan' ilmunya ke negara-negara berkembang.

Seperti yang tengah dan sudah kita lakukan, kita bisa saja merekrut tenaga ahli dari mereka (negara-negara maju) untuk bekerja di perusahaan yang kita dirikan dengan menawarkan bayaran yang lebih tinggi di bandingkan di negara asalnya. Ekspatriat itu dikontrak dalam jangka waktu tertentu, dan diberi target dalam waktu tertentu pula agar bisa mendidik anak buahnya yang orang Indonesia untuk menguasai keahlian mereka. Itu yang dilakuka PT DI dulu.

Cara kedua adalah dengan riset dan pengembangan bersama dengan negara-negara lain. Misalnya program pembuatan kapal selam Indonesia-Korsel dan proyek pembuatan pesawat tempur KFX/IFX juga antara Korsel-Indonesia.

Cara ketiga adalah 'mencontek' teknologi itu dengan membongkar pasang barang yang kita beli dari mereka. Jepang mungkin berhasil melakukan dengan cara ini, mencontek teknologi AS lalu mereka kembangkan sendiri menjadi teknologi yang lebih marketable. Indonesia bisa saja membongkar satu Tank Tempur Utama Leopard, mempretelinya satu demi satu, dipelajari, lalu dicontek model dan bentuknya. Juga cara kerjanya. Tapi cara ini sangat sulit, perlu berpuluh-puluh tahun. Tapi yang namanya manusia, tetap saja bisa belajar dan melakukan hal itu dengan sukses.

Cara keempat adalah dengan pendirian perusahaan Joint Venture, yakni perusahaan patungan antara perusahaan nasional baik swasta/BUMN dengan perusahaan asing yang memiliki teknologi itu. Contohnya, adalah rencana pendirian perusahaan Foxconn dengan PT LEN dan PT INTI untuk memproduksi tablet canggih dan smarphone high-end.

Pemerintah untuk itu perlu mengatur dalam suatu UU penanaman modal asing, agar transfer teknologi bisa berjalan mulus tanpa hambatan. Misalnya, mengharuskan PT Freeport untuk joint venture dengan perusahaan domestik dalam proses pemurnian emas dan penambangan. Atau mengharuskan Exxon dalam ijin kontraknya dengan Pertamina dalam teknologi eksplorasi dan idenfiikasi sumber-sumber minyak baru. Dengan klausul kontrak yang diperbaiki dan lebih berpihak pada kepentingan nasional, hal itu mungkin bisa dilakukan. Mengapa ? Karena Freeport juga tak mungkin hengkang dan mengalihkan penambangannya ke Alaska atau Chichago sana. Beda dengan Bank atau pabrik mobil yang bisa begitu saja dipindahkan ke negara lain. Persoalannya adalah bunyi kontrak yang sudah ditandatangani waktu pemerintahan dulu begitu merugikan Indonesia. Indonesia bisa saja me-renegosiasi lagi atau 'memaksa' mereka untuk taat pada hukum juridiksi Indonesia. Lain kali hati-hati kalau buat kontrak dengan asing.

Cara kelima adalah cara efektif dan cepat dari Sang Menteri BUMN Dahlan Iskan. Menteri BUMN Dahlan Iskan mencari seantero dunia talenta-talenta hebat Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan raksasa yang bergerakdi bidang teknologi tinggi seperti pembuatan mobil listrik. Gagal import batteri secara massal dari China, Dahlan Iskan mencari cara lain. Beliau (Dahlan Iskan) memanggil pulang anak muda WNI yang pakar pembuatan batteri, yang berpengalaman pernah bekerja dalam pembuatan mobil Hybrid di Daimler Chrysler atau Ferrarri. Hasilnya, berdirilah pabrik batteri canggih di Indonesia untuk keperluan produksi massal mobil listrik nasional.

Dan masih banyak cara lain lagi yang bisa kita terapkan untuk 'mencuri' teknologi dari negara maju. Yang penting, berantas dulu korupsi, KKN yang menjadi hambatan utama dalam memajukan bangsa dan negara ini. Perbaikan manajemen SDM, khususnya sistem renumerasi dan merit system yang berbasis pada kinerja mutlak dilakukan. Jangan sampai misalnya, guru-guru yang bolos selama tahunan tak pernah mau mengajar, malah mendapat dana sertifikasi yang jumlahnya puluhan juta rupiah. Sementara, tenaga pendidik tidak tetap justru harus bekerja keras dengan upah secuil.

Dengan doa dan kerja keras, Insya Allah bisa terwujud. 

1 comment:

Anonymous said...

Betul sekali! Kita punya banyak tenaga ahli potensial yang menunggu kepercayaan dan dukungan (kesempatan dan dana) untuk menggunakan berbagai cara "transfer teknologi" tersebut. Saya yakin jika kita bisa mengatasi penyakit korupsi dan "dengki", maka kita akan bisa sejajar dengan negara maju dalam hal kemampuan memproduksi dan mengembangkan produk militer teknologi tinggi.