News in Picture

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Thursday, May 9, 2013

Benarkah Serangan Israel ke Suriah Pre-emptive?





Para pemimpin Barat sedang berusaha menjustifikasi serangan terbaru Israel ke Suriah dengan menancapkan label "pre-emptive" yang secara langsung menggoyahkan supremasi ketentuan internasional.

Ahad dini hari 5 Mei 2013, rezim Zionis mengerahkan jet tempurnya melancarkan serangan udara dan roket ke sejumlah target di pinggiran Damaskus, Suriah. Serangan itu mengingatkan kita akan serangan kejutan Israel ke Irak, Sudan dan Tunisia pada dekade lalu.

Para pemimpin Barat termasuk Presiden AS Barack Obama, Menlu Inggris William Hague dan Menlu Jerman Guido Westerwelle, menyebut serangan itu "defensif". Apa yang diklaim oleh para pejabat Barat itu bertentangan dengan piagam PBB karena pasal 51 melarang penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional. Berdasarkan ketentuan tersebut, segala bentuk penggunaan kekuatan dan dalam kondisi apapun tidak dibenarkan kecuali dalam kondisi yang perinciannya disebutkan dalam piagam PBB. Namun Barat menjustifikasi serangan Israel itu dengan "doktrin pre-emptive".

Doktrin serangan pre-emptive mengemuka dalam ketentuan internasional pasca Perang Dingin dan sebenarnya merupakan penjelasan lebih luas dari pasal 51 Piagam  PBB. Doktrin tersebut pada hakikatnya reaksi bersenjata atas serangan segera pihak lawan. Amerika Serikat menggunakan doktrin tersebut untuk melancarkan invasi ke Afghanistan dan Irak. Namun benarkah serangan Israel dapat dikategorikan pre-emptive?

Di Timur Tengah, Israel telah melancarkan banyak serangan dengan mengandalkan doktrin serangan pre-emptive dan melanggar kedaulatan negara-negara regional. Pada tahun 1981, Israel membombardir instalasi nuklir Irak. Pada 2007, Israel menghancurkan sebuah fasilitas militer Suriah dan tahun 2012, rezim Zionis menarget sebuah pabrik di Sudan. Sementara kasus terbarunya adalah serangan jet tempur Zionis ke sebuah fasilitas riset militer di Damaskus. Doktrin pre-emptive berarti reaksi bersenjata atas serangan segera pihak lawan, akan tetapi dari semua kasus di atas, tidak ada rencana serangan segera sehingga Tel Aviv harus melancarkan serangan pre-emptive.

Barat dalam penjelasannya sangat menekankan masalah "urgensi dan kecepatan" dalam menjustifikasi serangan pre-emptive Israel. Adapun rezim Zionis membenarkan pelanggarannya itu dengan mengemukakan alasan hak pertahanan pre-emptive di berbagai lembaga internasional.

Pertanyaannya adalah, bukti kongkret apa yang dijadikan landasan bagi para pejabat Tel Aviv bahwa Suriah akan segera melancarkan serangan ke Israel?

Barat sendiri mengetahui bahwa penjelasan pertahanan pre-emptive itu memang tidak dapat dibenarkan dan bahkan Mahkamah Internasional juga menolaknya. Dalam dua kasus di Kongo dan Nikaragua, Mahkamah Internasional menilai serangan pre-emptive tidak bernilai dan menegaskan bahwa hak bertahan itu harus didahului dengan serangan (dari pihak lawan).

Pada hakikatnya bentuk pertahanan pre-emptive itu tidak punya pijakan hukum internasional karena tidak disebutkan dalam Piagam PBB yang hanya menyinggung tentang hak bertahan setelah kedaulatan sebuah negara dilanggar pihak lawan.

Pada tahun 2005, negara-negara Barat berusaha melegalkan serangan pre-emptive itu dalam koridor reformasi struktur PBB, namun upaya itu ditentang mayoritas negara anggota PBB.

Harus dikatakan bahwa alasan serangan pre-emptive ini digunakan sebagai alat untuk menyerang negara dunia ketiga dan meningkatkan instabilitas di tingkat global. Barat menggunakan serangan pre-emptive itu untuk menjustifikasi tujuan imperialisme mereka. 
sumber : IRIB Indonesia

No comments: