PT Dirgantara Indonesia (Persero) meneken kerjasama dengan PT Regio Aviasi Indonesia untuk mengembangkan pesawat terbang turbotrop modern berkapasitas 70-90 orang penumpang bernama Regioprop, di kantor PT Dirgantara Indonesia di Bandung, Jumat, 3 Mei 2013.
Direktur Utama PT Regio Aviasi Indonesia Agung Nugroho mengatakan, kerjasama tersebut bertujuan untuk mengembalikan kejayaan PT DI sebagai pembuat pesawat terbang dari ujung sampai ujung mulai dari desain hingga pemasaran. Selain itu untuk memberdayakan industri pesawat terbang asli produk Indonesia.
“PT Regio Aviasi Indonesia posisinya sebagai sponsor dan PT DI sebagai strategi partner dan main contractor,” kata Agung kepada Tempo, Jumat, 3 Mei 2013.
PT Dirgantara Indonesia berfungsi sebagai strategi partner dan main contractor untuk menangani program sejak awal, perancangan, sertifikasi sampai dengan pembuatan pesawat serta serial dan melakukan pemasaran bersamda. Sementara PT Regio Aviasi Indonesia sebagai sponsor, marketing dan pengambangan program.
Program pengembangan akan dilakukan terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah pleminary design dan feasibility study, yang akan berlangsung selama kurang lebih satu tahun untuk definisiawal pesawat dan menyerap keinginan atau persyaratan customer. Tahap ke-dua, full scale development atau pengembangan skala penuh, terdiri dari detail design, prototype manufacturing dan sertifikasi. Tahap tersebut berlangsung sekitar empat tahun terhitung mulai 2014-2017 untuk mendapatkan sertifikasi nasional Kementrian Perhubungan.
“Semoga di tahun 2018 sertifikasi turun dan bisa berlanjut ke tahap tiga yaitu serial production, penjualan dan layanan purna jual,” kata Agung.
Program yang ditargetkan rampung dalam lima tahun itu akan memanfaatkan pengalaman rancang bangun anak bangsa dalam mengembangkan pesawat terbang sejak 1979 – 1982 (CN35) dan 1989 – 1996 (N250), yang disesuaikan dengan tantangan kebutuhan pesawat di masa depan, akan transportasi dengan efisiensi dan keekonomian yang lebih baik, kenyamanan penumpang dan keandalan yang lebih tinggi serta ramah lingkungan.Selain itu, program tersebut juga dimanfaatkan untuk mengisi kebutuhan pasar di sektor pesawat regional (regional aircraft) pada kurun waktu 2018-2037 dan untuk mengambalikan kemampuan rancang bangun pesawat terbang di Indonesia.
“Indonesia punya potensi untuk mengembangkan industri pesawat di Negara sendiri. Baiknya ya bangsa ini membuat pesawat untuk bangsanya sendiri untuk kebangkitan dirgantara nasional,” ujar Agung.
Program tersebut merupakan satu wadah untuk meneruskan cita-cita yang telah dirintis oleh PT DI dalam mengembangkan pesawat terbang secara bertahap, baik dari segi kapasitas, daya jangkau dan kandungan teknologi. Seperti program-program sebelumnya yakni, NC212, CN235, N250, dan N2130.
Melihat perkembangan di atas, ada harapan bahwa Industri penerbangan Indonesia akan bangkit pada saat yang tepat, yakni ketika pertumbuhan bisnis penerbangan di Asia Pasifik khususnya Indonesia sedang naik pesat.
Indonesia adalah negara besar, dalam arti luas wilayah dan jumlah penduduk kelas menengah yang terus naik yang saat ini berjumlah lebih dari 130 juta jiwa adalah jumlah yang luar biasa banyak dan sangat potensial. Pertumbuhan kelas menengah yang sangat signifikan tersebut menjadikan Indonesia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia bersama China, India, dan Brazil.
Tak ada momen yang lebih baik dari sekarang, bagi industri / pabrik pesawat Indonesia seperti PT DI untuk segera mempersiapkan diri menyambut kebutuhan jumlah pesawat domestik dan di kawasan regional Asia Tenggara.
CEO Lion Air, Rusdy Kirana, beberapa waktu lalu menyatakan bahwa "mereka yang mengkritik langkah Lion Air adalah mereka yang tidak paham akan pertumbuhan industri penerbangan di Asia Pasifik." Lion Air beberapa waktu lalu melakukan transaksi spektakuler yakni pembelian 230 unit pesawat dari Boeing (rekor sejarah untuk Boeing), dan beberapa bulan kemudian Lion Air melakukan hal yang sama dan kali ini membeli 234 unit pesawat dari Air Bus (rekor dalam sejarah Air Bus).
Pembelian gila-gilaan ini, kata sejumlah pengamat penerbangan, merupakan refleksi dari tuntutan kebutuhan pasar pesawat yang juga "gila" di Indonesia dan Asia Tenggara.
Situasi ini bukan tidak diperkirakan sebelumnya oleh pioneer industri penerbangan kita, Prof. Dr. BJ Habibie, bahwa ke depan potensi kebutuhan jumlah pesawat komersial akan naik secara signifikan. Habibie menyatakan hal itu 25 tahun yang lalu, ketika beliau merencanakan pembuatan pesawat N 2130 pada tahun 1996. DetikFinance melaporkan sebagai berikut :
CEO Lion Air, Rusdy Kirana, beberapa waktu lalu menyatakan bahwa "mereka yang mengkritik langkah Lion Air adalah mereka yang tidak paham akan pertumbuhan industri penerbangan di Asia Pasifik." Lion Air beberapa waktu lalu melakukan transaksi spektakuler yakni pembelian 230 unit pesawat dari Boeing (rekor sejarah untuk Boeing), dan beberapa bulan kemudian Lion Air melakukan hal yang sama dan kali ini membeli 234 unit pesawat dari Air Bus (rekor dalam sejarah Air Bus).
Pembelian gila-gilaan ini, kata sejumlah pengamat penerbangan, merupakan refleksi dari tuntutan kebutuhan pasar pesawat yang juga "gila" di Indonesia dan Asia Tenggara.
Situasi ini bukan tidak diperkirakan sebelumnya oleh pioneer industri penerbangan kita, Prof. Dr. BJ Habibie, bahwa ke depan potensi kebutuhan jumlah pesawat komersial akan naik secara signifikan. Habibie menyatakan hal itu 25 tahun yang lalu, ketika beliau merencanakan pembuatan pesawat N 2130 pada tahun 1996. DetikFinance melaporkan sebagai berikut :
BJ Habibie Rancang N-2130, Boeing dan Airbus 'Ketar-ketir'
Setelah sukses melahirkan N-250 Gatotkaca dan Krincing Wesi pada Agustus 1996, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di bawah besutan BJ Habibie pernah berencana melahirkan prototipe pesawat lebih maju sekelas Sukhoi SuperJet 100.
Habibie mendesain pesawat penumpang komersial bermesin jet asli karya Indonesia, yakni N-2130 yang rencananya beroperasi mulai 2005 lalu. Pesawat N-2130 berpenumpang 130 orang ini dikonsep memiliki pasar serupa dengan pesawat Boeing seri 737-500 atau Airbus seri A320.Direktur Utama PT DI Budi Santoso bercerita, rencana BJ Habibie kala itu membuat raksasa produsen pesawat dunia yaitu Boeing dan Airbus ketar-ketir.
"Dikembangkan pasca N-250. Mungkin kesalahan ini mengembangkan N-2130. Mulai masuk pasarnya Boeing. Mungkin waktu IMF masuk ke sini, pesan sponsor di sana tolong matikan," tutur Budi kepadadetikFinance di Kantor Pusat PTDI, Jalan Pajajaran, Bandung, Jumat (15/2/2013).Budi memprediksi, Seandainya waktu itu proyek pesawat jet N-2130 tidak dikembangkan, pesawat penumpang bermesin propeler yakni N-250, mungkin tidak akan mangkrak seperti saat ini.
"Kalau ini (Boeing dan Airbus) terganggu pasarnya. Mulai gunakan politik mematikan. Mungkin kita kalau nggak bikin N-2130, N-250 bisa jadi (berhasil) karena itu (N-250) bukan pasarnya perusahaan besar. Bukan pasar Airbus dan Boeing," cetusnya.
Hari ini, proyek N-2130 hanya tinggal secarik kertas yang tak pernah terwujud barangnya. Di ruang pamer pesawat PT DI terdapat prototipe N-2130 yang belum selesai dikembangkan.Budi menuturkan, dengan nilai uang saat ini, biaya mengembangkan N -2130 versi terbaru setidaknya mencapai US$ 6 miliar hingga US$ 10 miliar.
"N-2130 hanya jadi kertas saja. Bikin baru seperi ini (N 2130) perlu US$ 6 miliar-US$ 10 miliar. Itu harga tahun ini, kalau harga tahun itu berbeda (dulu senilai US$ 2 miliar)," cetusnya.
Perlu Anda ketahui bahwa pesawat N 2130 ketika itu adalah lebih modern dan lebih unggul dibandingkan dengan Boeing 737-500.
BJ Habibie merencanakan ketika itu, seandainya proyek itu tetap dipertahankan, PT DI sudah memproduksi pesawat N 2130 sekelas Sukhoi Superjet 100 pada tahun 2005 lalu. Itu artinya, Lion Air mungkin tidak akan 100% berpaling pada Boeing dan Airbus untuk memenuhi kebutuhan pesawat domestik dan regional Asia Pasifik. Boleh jadi, Lion Air akan memesan setidaknya 30 pesawat dari PT DI yang sekelas 737-500.
Beberapa maskapai penerbangan nasional telah menyatakan minatnya untuk membeli pesawat buatan PT DI ini. Pemerintah harus mendukung program ini yakni membuat pesawat baru yang lebih canggih untuk menerusakan N 2130 yang sempat terhenti. Disain dan prototipe pesawat itu sudah dibuat, data-datanya sudah ada, tinggal melanjutkan saja. Kebutuhan investasinya sekitar 600 milyar rupiah. Jika tagihan pajak pemerintah ke Asian Agri saja sebesar 2,5 triliun Rupiah dari pajak yang mereka kemplang, jumlah 600 milyar Rupiah terasa kecil. Apalagi dibandingkan dana BLBI yang dicolong Djoko Tjandra sebesar 164 Triliun Rupiah, uang setengah triliun hampir-hampir tiada artinya.
Jika pemerintah mendukung proyek tersebut, maka soal apakah pabrik pesawat kita akan menjadi tuan rumah di tanah sendiri akan terjawab : "Ya, insya Allah akan terwujud lebih cepat." PT DI akan mencari cara agar proyek ini bisa terwujud bersama Aviasi dan ini sebuah tindakan yang patut dihargai dan didorong realisasinya.
Rakyat Indonesia sudah bosan negara bangsa kita hanya dijadikan bulan-bulanan produk asing. Lihatlah pasar mobil dan motor yang sedemikian besar, hanya dikuasai oleh mobil-mobil Jepang dan Eropa. Seharusnya 230 Juta rakyat negara ini bisa merasakan mobil buatan dalam negeri sendiri, karya-karya anak bangsa. Baru mobil Esemka saja yang serius. Departemen Perindustrian dan perdagangan harus mendukung 100% upaya bangkitnya industri dalam negeri. Industri bayi dalam negeri jangan diperlakukan sama dengan asing di negeri sendiri. Mereka harus diproteksi lebih dahulu.
Melihat bangsa ini dalam sejarahnya selalu bisa lolos dari situasi sulit, penulis optimis bahwa PTDI dan Aviasi akan berhasil mewujudkan impiannya, bahkan impian Indonesia agar pabrik pesawat nasional bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Insya Allah, dengan usaha keras dan doa, tidak ada yang tidak mungkin. Cepat atau lambat Insya Allah akan terwujud.
BJ Habibie merencanakan ketika itu, seandainya proyek itu tetap dipertahankan, PT DI sudah memproduksi pesawat N 2130 sekelas Sukhoi Superjet 100 pada tahun 2005 lalu. Itu artinya, Lion Air mungkin tidak akan 100% berpaling pada Boeing dan Airbus untuk memenuhi kebutuhan pesawat domestik dan regional Asia Pasifik. Boleh jadi, Lion Air akan memesan setidaknya 30 pesawat dari PT DI yang sekelas 737-500.
BJ Habibie Sempat Akan Bikin Pesawat Penumpang Saingan Boeing 737-500
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) ternyata pernah berencana mengembangkan pesawat penumpang bermesin jet, N-2130. Pesawat komersial berkapasitas 130 penumpang itu, awalnya akan dikembangkan setelah N-250, berhasil diuji coba sekitar 1996.
Direktur Utama PT DI Budi Santoso menuturkan, pesawat tersebut oleh BJ Habibie kala itu, siap dikembangkan dengan dana US$ 2 miliar. Bahkan spesifikasi rancangan mesin dan desain pesawat kala itu telah mengungguli atau lebih moderen serta efisien dibandingkan pesawat penumpang asal pabrikan Amerika Serikat yakni Boeing 737-500 seri klasik.
"Itu (N-2130) di atas kertas lebih baik dari Boeing 737-500," tutur Budi kepada detikFinance di Kantor Pusat Dirgantara Indonesia, Jalan Pajajaran Bandung, Jumat (15/2/2013).
Kala itu, N-2130 diproyeksikan siap beroperasi dan terbang melayani masyarakat mulai 2005. Budi menuturkan, seandainya proyek N-2130 berjalan, maka maskapai penerbangan komersial di tanah air seperti Lion Air, Garuda Indonesia, Citilink, Mandala, Sriwijaya, Merpati Nusantara, dan maskapai lainnya akan menggunakan pesawat N-2130 tersebut.
"Sebelum 2005-2006 sudah terbang (di rencana). Ini (N-2130) bisa menguasai pasar Indonesia. Jadi ini (Boeing seri 737) nggak akan merajalela di sini (Indonesia),” tambah Budi sambil menunjuk miniatur N-2130 di ruangannya.
Namun rencana itu harus pupus karena Presiden Soeharto mengehentikan kucuran dana PT DI saat krisis ekonomi 1998. Hal itu dilakukan berdasarkan desakan International Monetary Fund (IMF) yang bertindak sebagai kreditor ke Indonesia. (Detikfinance).Sekarang, mimpi-mimpi itu bukannya hilang, melainkan akan dilanjutkan oleh PT DI bekerja sama dengan PT Aviasi untuk mengembangkan pesawat Jet Turboprop yang lebih canggih. Kali ini PT DI akan membuat pesawat itu berdasarkan riset kebutuhan pasar, untuk memenuhi pertumbuhan jumlah pesawat penumpang dengan kapasitas kursi 130 orang.
Beberapa maskapai penerbangan nasional telah menyatakan minatnya untuk membeli pesawat buatan PT DI ini. Pemerintah harus mendukung program ini yakni membuat pesawat baru yang lebih canggih untuk menerusakan N 2130 yang sempat terhenti. Disain dan prototipe pesawat itu sudah dibuat, data-datanya sudah ada, tinggal melanjutkan saja. Kebutuhan investasinya sekitar 600 milyar rupiah. Jika tagihan pajak pemerintah ke Asian Agri saja sebesar 2,5 triliun Rupiah dari pajak yang mereka kemplang, jumlah 600 milyar Rupiah terasa kecil. Apalagi dibandingkan dana BLBI yang dicolong Djoko Tjandra sebesar 164 Triliun Rupiah, uang setengah triliun hampir-hampir tiada artinya.
Jika pemerintah mendukung proyek tersebut, maka soal apakah pabrik pesawat kita akan menjadi tuan rumah di tanah sendiri akan terjawab : "Ya, insya Allah akan terwujud lebih cepat." PT DI akan mencari cara agar proyek ini bisa terwujud bersama Aviasi dan ini sebuah tindakan yang patut dihargai dan didorong realisasinya.
Rakyat Indonesia sudah bosan negara bangsa kita hanya dijadikan bulan-bulanan produk asing. Lihatlah pasar mobil dan motor yang sedemikian besar, hanya dikuasai oleh mobil-mobil Jepang dan Eropa. Seharusnya 230 Juta rakyat negara ini bisa merasakan mobil buatan dalam negeri sendiri, karya-karya anak bangsa. Baru mobil Esemka saja yang serius. Departemen Perindustrian dan perdagangan harus mendukung 100% upaya bangkitnya industri dalam negeri. Industri bayi dalam negeri jangan diperlakukan sama dengan asing di negeri sendiri. Mereka harus diproteksi lebih dahulu.
Melihat bangsa ini dalam sejarahnya selalu bisa lolos dari situasi sulit, penulis optimis bahwa PTDI dan Aviasi akan berhasil mewujudkan impiannya, bahkan impian Indonesia agar pabrik pesawat nasional bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Insya Allah, dengan usaha keras dan doa, tidak ada yang tidak mungkin. Cepat atau lambat Insya Allah akan terwujud.
No comments:
Post a Comment